Reformasi 1998
merupakan suatu sejarah penting dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Lengsernya
Soharto dari kursi kepresidenan tidak terlepas dari kondisi politik dan ekonomi
Indonesia yang sedang kacau. Reformasi dapat dikatakan sebagai gerakan moral
untuk menjawab ketidakpuasan dan keprihatinan atas kehidupan ekonomi, politik,
hukum, dan sosial. Krisis multidimensi yang melanda Indonesia telah
menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto.
Pada Bulan Mei 1998 terjadi gelombang demontrasi besar-besaran yang dilakukan
oleh para mahasiswa yang bersama-sama meminta pertanggungjawaban Soeharto
sebagai pemimpin Negara tertinggi, dan meminta dia untuk mengundurkan diri.
Peristiwa pengunduran diri Soeharto dan pengangkatan B.J. Habibie menjadi
presiden menandai runtuhnya orde baru dan awal dari masa reformasi.
Runtuhnya rezim orde
baru membawa angin segar bagi daerah Aceh yang masih dibalut dengan kondisi
Daerah Operasi Militer (DOM). Dalam pemerintahan transisi, Presiden BJ.
Habibie. Jenderal Wiranto yang ketika itu menjabat menteri pertahanan dan
keamanan dan panglima komando angkatan bersenjata, pada tanggal 7 Agustus 1998
mencabut kembali status Daerah Operasi Militer (DOM) yang dikenakan pada Aceh
sejak 1990.
Ia juga memerintah pengunduran seluruh pasukan dari luar Aceh sebelum akhir
bulan itu.
Presiden BJ. Habibie dalam pidato kenegaraan di depan rapat paripurna DPR
tanggal 16 Agustus 1998 secara resmi meminta maaf kepada rakyat Aceh atas
tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum ABRI dan berjanji menyelidiki
kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh sekaligus berjanji menarik
secara bertahap 4.000 pasukan non-organik dari Aceh.
Pencabutan status
Daerah Operasi Militer (DOM) oleh Jenderal Wiranto membuat masyarakat Aceh
bersuka cita. Meski, militer tidak benar-benar mengakhiri operasi militer di
Aceh. Sebut saja operasi Wibawa pada 1999 dan pelbagai operasi lain dengan
kedok penegakan hukum, seperti Operasi Sadar Rencong dan Operasi Sadar Rencong
II, serta Operasi Cinta Meunasah.
Operasi ini masih diwarnai berbagai bentuk kekerasan dan tidak ada perubahan
sama sekali dari operasi sebelumnya. Ada sedikit perbedaan dalam hal kekerasan
yang target sasarannya adalah gedung-gedung sekolah yang dibakar, selain itu
terdapat kasus pembunuhan massal serta munculnya Petrus ( penembakan misterius )
yang tidak pernah terungkap.
Penerapan kembali
operasi militer di Aceh pada awal Januari 1999 membuat kondisi Aceh semakin
lama semakin tidak menentu. Ini membuat gerakan sipil dan tokoh masyarakat Aceh
mulai meningkatkan perlawanannya. Berbagai aksi demonstrasi serta sumbangsih
pemikiran untuk memberikan berbagai solusi politik sebagai upaya kompromi
dengan pemerintah pusat pun dilakukan. Puncaknya terjadi saat mahasiswa dan
pemuda Aceh menggelar Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) yang di
gagas oleh Komite Mahasiswa Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN) bekerja sama dengan
organisasi yang bersifat koalisi di Aceh, yang disebut dengan Koalisi Aksi
Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA). Dua rekomendasi pun disepakati. Yang pertama
memilih Referendum dengan opsi merdeka. Dan yang kedua adalah, Mendirikan
Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebagai lembaga independen yang
bertugas mengorganisir informasi dan memperjuangkan nasib bangsa Aceh melalui
referendum.
Seiring konflik politik
yang mendera Aceh selama 30 tahun, mahasiswa turut serta dalam membantu dan
memberikan arah bagi gerakan civil society di Aceh. Ini terlihat dengan
menjamurnya organisasi-organisasi mahasiswa luar kampus, seperti Koalisi Aksi
Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA), Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), Forum
Aksi Reformasi Mahasiswa Islam Daerah Istimewa Aceh (FARMIDIA), Forum
Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA), Forum Silaturahmi Mahasiswa Aceh
(FOSIMA), Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), dan komite aksi mahasiswa
daerah seperti WAKAMPAS di Aceh Selatan, KAMAUT di Aceh Utara, Mahasiswa dan
Pemuda Pejuang Rakyat Aceh (MAPRA) di Lhokseumawe, Koalisi Aksi Gerakan
Mahasiswa dan Pemuda Aceh Barat (KAGEMPAR) di Aceh Barat dan lainnya baik di
dalam maupun di luar Aceh. Sampai pada puncaknya pada saat di berlakukannya
Status Keadaan Gawat darurat untuk Provinsi Aceh (Darurat Militer) bertambah
lengkaplah alat kekuatan militeristik pada saat konflik di Aceh atas nama
keutuhan Negara Republik Indonesia untuk menghancurkan, memintai keterangan
sampai tindakan untuk menangkap setiap siapa saja yang patut di duga melakukan
pengorganisiran dan pengorganisasian rakyat yang dapat membahayakan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selama diberlakukannya status
Aceh menjadi Darurat Militer, gerakan sipil di Aceh mulai surut dan tidak aktif
secara terbuka. Bahkan, gerakan sipil di Aceh bisa dikatakan hancur berantakan.
Melalui serangan atau teror yang yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga
telah melahirkan rasa ketakutan yang begitu dalam dikalangan gerakan sipil di
Aceh. Kondisi ini terus berlangsung selama darurat militer maupun darurat sipil,
bahkan banyak aktivis yang mulai mengalihkan profesinya dan tidak sedikit pula
yang keluar dari Aceh dengan berbagai alasan dan tujuan.
Untuk mengakhiri
kekerasan yang terjadi di Aceh, pada tanggal 12 Mei 2000 Presiden Abdurrachman
Wahid berinisiatif untuk mengadakan perjanjian dengan GAM di Jenewa.
Ketika Megawati Soekarnoputri menduduki kursi Kepresidenan pada tahun 2001,
perundingan-perundingan terus dilakukan. Lalu pada tanggal 17 dan 18 Mei 2003,
RI dan GAM mengadakan pertemuan di Tokyo untuk mencegah konflik dan membahas
bersama mengenai Joint Council. Karena tidak ada pihak yang mau mengalah, maka
pada tanggal 19 Mei 2003 Presiden Megawati mencetuskan bahwa Aceh menjadi
Darurat Militer. Konflik terus berlanjut di Aceh sampai ke perubahan status
menjadi Darurat Sipil pada tanggal 18 Mei 2004.
Tsunami yang
meluluhlantakkan daerah Aceh pada 24 Desember 2004 membuka mata dunia
Internasional untuk mengakhiri konflik yang sedang terjadi di Aceh. Pada
tanggal 15 Agustus 2005, pihak pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) secara resmi menandatangani MoU Helsinki di Finlandia. Nota kesepahaman
yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bertikai selama puluhan tahun, menjadi
babak baru dalam proses perdamaian di bumi Serambi Mekkah ini. Pasca ditandanganinya
perjanjian damai tersebut, telah terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan
masyarakat Aceh pasca pemberian hak politik khusus terhadap masyarakat Aceh,
yaitu dengan menyepakati berdirinya Partai-Partai Politik lokal Aceh dan juga adanya
calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah di Aceh pada Pilkada 2006.
Setelah
perjanjian damai MoU Helsinki sejumlah gerakan sipil dan aktivis di Aceh
membentuk konsolidasi yang bermuara ke arah pembentukan partai politik lokal
yang menandai perubahan strategis politik bagi para kalangan gerakan sipil di
Aceh. Di Aceh, masyarakat sipil telah turut berperan menuntut perubahan dalam
penyelenggaraan kehidupan bernegara. Oleh sebab itu, penelitian ini ingin
melihat dan meneliti bagaimana pasang surut perjalanan gerakan sipil di Aceh
dari tahun 1998 hingga tahun 2012.