|
Photo saat Cut Nya' Dhien ditawan Kaphee Belanda (Letnan van Vuren: 1905) |
Sejarah Perang Aceh, merupakan perang yang membawa kerugian besar bagi Belanda.
Kehebatan para pejuangnya, dijadikan acuan studi oleh banyak pihak untuk
mempelajari bagaimana para pejuang Aceh bisa membuat Belanda kehilangan
sedemikian banyak harta dan tentara. Dunia tidak dapat memandang remeh
pejuang-pejuang Aceh. Beberapa diantaranya dimasukkan dalam jajaran
pejuang besar dunia. Ada yang menyebutkan sebagai
7 Warlord Women in The World dimana beberapa diantaranya dari Aceh,
10 Best Female Warrior at All Time beberapa diantaranya dari Aceh, serta
Women Warrior in South East Asia.
Dalam berbagai literatur, terdapat sederetan wanita dalam sejarah
yang dijadikan sumber untuk dipelajari kepemimpinannya oleh berbagai
studi di dunia. Saya menemukan beberapa nama yang tidak asing. Para
wanita Aceh.
“Dari pengalaman yang dimiliki oleh panglima-panglima perang
Belanda yang telah melakukan peperangan di segala penjuru dan pojok
Kepulauan Indonesia, bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang
serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh, dan kaum wanita Aceh
yang melebihi kaum wanita bangsa lainnya, dalam keberanian dan tidak
gentar mati. Bahkan, mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah
dikenal bukanlah laki-laki lemah dalam mempertahankan cita-cita bangsa
dan agama mereka” - HC Zentgraaf
Berikut ini adalah nama-nama Jenderal Besar Aceh. Jabatan yang dikenakan
di depan nama para pejuang ini, saya tulis dalam bahasa yang digunakan
dunia. Agar anda dapat melihat mereka dari sudut pandang dunia. Dan
dapat mengambil kesimpulan, bahwa dunia mencatat para Jenderal Besar ini
sebagai orang orang-orang yang paling dihormati.
Admiral Keumalahayati (Laksamana Keumalahayati)
Tahun 1585-1604, Keumalahayati memegang posisi Chief of the Imperial
Guard Troop Commander Secret Government dan Chief of Protocol of Sultan
Alauddin Saidil Mukammil Riayat Shah IV. Keumalahayati memimpin 2,000
tentara Balee Inong (janda-janda dari pahlawan yang terbunuh). Di bawah
kepemimpinan Admiral Keumalahayati, Kesultanan Aceh Darussalam memiliki
kekuatan 100 armada dengan kapasitas 400-500 tentara.
Admiral Keumalahayati terlibat perkelahian satu lawan satu di atas dek
kapal perang melawan Cornelis de Houtman. Cornelis de Houtman dan
beberapa anak buahnya tewas. Sementara Frederick de Houtman, adik dari
Cornelis de Houtman dipenjara. Cornelis de Houtman dan Frederick de
Houtman adalah Admiral dalam kapal perang Belanda.
Kemalahayati bukan hanya Admiral dan Commander dari Angkatan Laut
Kesultanan Aceh Darussalam, tapi juga memegang posisi Troop Commander
sebagai Palace Guard. Kemalahayati juga menjadi diplomat bagi Sultan,
dan merupakan negosiator dan memegang kendali hubungan luar negeri.
Commander Cut Nyak Dhien
Wanita Aceh ini dilahirkan tahun 1848, adalah satu dari pejuang wanita
terbaik (best female warrior) dunia yang dimiliki oleh Aceh dan
Indonesia. Bersama suaminya, berperang mengusir penjajahan Belanda dari
Aceh.
Dalam berbagai sumber, Cut Nyak Dhien masuk dalam kategori 7 Warlord
Women in The World, 10 Best Female Warrior at All Time, Women Warrior in
South East Asia,
General Cut Nyak Meutia (Jenderal Cut Nyak Meutia)
Cut Meutia bersama suami keduanya, Cut Muhammad atau Teuku Cik Tunong,
berjuang melawan Belanda bersama pasukannya. Teuku Cik Tunong ditangkap
Belanda dan dibunuh. Melanjutkan perjuangan suaminya, Cut Nyak Meutia
memimpin pasukannya melawan Belanda hingga dia terbunuh pada tahun 1910.
Uleebalang and General Pocut Baren Biheue (Hulubalang dan Jenderal Pocut Baren Biheue)
Pocut Baren adalah jenderal dengan salah satu kakinya diamputasi. Letnan
H. Scheurleer melaporkan, bahwa Pocut Baren mencoba menciptakan
ketertiban, keamanan dan kemakmuran rakyat Aceh di bawah kolonial
Belanda. Pocut Baren melakukan perlawanan kepada Belanda. Pada tahun
1910 Belanda melakukan penyerbuan besar-besaran terhadap pertahanan
pocut Baren di bawah pimpinan Letnan Hoogers. Pocut Baren ditangkap dan
dibawa ke Meulaboh. Pocut Baren hidup tahun 1880-1933.
H.C Zentgraff, penulis dan tentara Hindia Belanda, menyebut wanita Aceh
sebagai “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) dan grandes
dames (wanita-wanita besar). Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh
melebihi segala wanita yang lain, lebih-lebih dalam mempertahankan
cita-cita kebangsaan dan agamanya. Baik di belakang layar, maupun secara
terang-terangan menjadi pemimpin perlawanan.